Monday, November 30, 2015

HUKUM MONOPOLI DALAM ISLAM



TUGAS MID ETIKA BISNIS ISLAM
RESUME
HUKUM MONOPOLI DALAM ISLAM
IAIN.jpg





Disusun oleh:
Normalisa Sulisti
NIM: 211 313 7312
Kelas
 Ekis VA

Dosen Pembimbing
Desi Isnaini, MA

FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM JURUSAN EKONOMI ISLAM PRODI EKONOMI SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2014

PEMBAHASAN
A.       Pengertian Monopoli dan Al-Ihtikar
Istilah monopoli dalam terminologi Islam tidak ditemukan secara konkrit namun dalam muamalat terdapat satu ungkapan yang disinyalir hampir mirip dengan monopoli yaitu al-Ihtikar. Al-Ihtikar merupakan bahasa Arab yang definisinya secara etimologi ialah perbuatan menimbun, pengumpulan (barang-barang) atau tempat untuk menimbun.[1] Para ulama berbeda pendapat dalam memahami obyek yang ditimbun yaitu: kelompok pertama mendefinisikan al-Ihtikar sebagai penimbunan yang hanya terbatas pada bahan makanan pokok (primer) dan kelompok yang kedua mendefinisikan al-Ihtikar secara umum yaitu menimbun segala barang-barang keperluan manusia baik primer mapun sekunder.
Kelompok ulama yang mendefenisikan al-Ihtikar terbatas pada makanan pokok antara lain adalah Imam al-Gazali dimana beliau berpendapat bahwa yang dimaksud al-Ihtikar hanyalah terbatas pada bahan makanan pokok saja. Sedangkan selain bahan makanan pokok (sekunder) seperti, obat-obatan, jamu-jamuan, wewangian, dan sebagainya tidak terkena larangan meskipun termasuk barang yang dimakan. Alasan mereka adalah karena yang dilarang dalam nash hanyalah makanan. Menurut mereka masalah ihtikar adalah menyangkut kebebasan pemilik barang untuk menjual barangnya. Maka larangan itu harus terbatas pada apa yang ditunjuk oleh nash. Sedangkan kelompok ulama yang mendefinisikan al-Ihtikar lebih luas dan umum diantaranya adalah imam Abu Yusuf. Beliau menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang dibutuhkan masyarakat. Menurut mereka, yang menjadi ilat (motivasi hukum) dalam larangan melakukan ihtikar tersebut adalah kemudaratan yang menimpa orang banyak. Oleh karena itu kemudaratan yang menimpa orang banyak tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang dibutuhkan orang.[2]
Adiwarman Karim mengatakan bahwa al-Ihtikar adalah mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya disebut dengan monopolys rent.[3]
Monopoli juga merupakan suatu bentuk pasar dimana hanya ada satu firma saja dan firma tersebut menghasilkan barang yang tidak mempunyai barang pengganti yang sangat dekat.[4] Ada tiga macam bentuk monopoli yang terjadi dalam pasar, yaitu: Natural Monopoly, yaitu monopoli yang terjadi secara alamiah atau karena mekanisme pasar murni. Pelaku monopoli merupakan pihak yang secara alamiah menguasai produksi dan distribusi produk tertentu. Monopoly by Struggle, yaitu monopoli yang terjadi setelah adanya proses kompetisi yang cukup panjang dan ketat. Persaingan berjalan fair, tidak terjadi proses-proses yang melanggar aturan pasar terbuka. Berbagai pelaku bisnis yang terlibat dalam sektor tersebut telah melakukan kompetisi yang yang panjang dan ketat melalui berbagai situasi dan hambatan. Monopoly by decree, yaitu proses monopoli yang terjadi karena adanya campur tangan pemerintah yang melakukan regulasi dengan memberikan hak istimewa kepada pelaku ekonoi tertentu untuk menguasai pasar suatu produk tertentu.[5]
Sedangkan diantara perbedaan monopoli dan ihtikar adalah:
1.    Bahwa monopoli terjadi jika seseorang memiliki modal yang besar dan dapat memproduksi suatu barang tertentu di pasaran yang dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan Ihtikar tidak hanya bisa dilakukan oleh pemilik modal besar namun masyarakat menengah dengan modal alakadarnya pun bisa melakukannya.
2.    Suatu perusahaan monopolis cenderung dalam melakukan aktifitas ekonomi dan penetapan harga mengikuti ketentuan pemerintah (adanya regulasi standard pemerintah), sedangkan ihtikar dimana dan kapan pun bisa dilakukan oleh siapa saja, sebab penimbunan sangat mudah untuk dilakukan.
3.    Untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum, dalam ihtikar kelangkaan barang dan kenaikan harga suatu barang terjadi dalam waktu dan tempo yang tentitif dan mendadak dan dapat mengakibatkan inflasi. Sementara dalam monopoli kenaikan harga biasanya cenderung dipengaruhi oleh mahalnya biaya produksi dan operasional suatu perusahaan walaupun kadang-kadang juga dipengaruhi oleh kelangkaan barang.
4.    Praktek monopoli adalah legal dan bahkan di negara tertentu dilindugi oleh undang-undang atau aturan suatu negara, sedangkan ihtikar merupakan aktifitas ekonomi yang ilegal.
B.       Dasar Hukum monopoli
Pasar monopoli harus memiliki etika dalam berbisnis yang baik kepada pembeli untuk menjual barang dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat yang berekonomi rendah dan pengusaha pendatang baru diberikan kesempatan untuk masuk kedalam pasar.
Dalam al-Qur’an secara langsung tidak ada disebutkan mengenai al-Ihtikar (Monopolistic rent). Tetapi ada ayat yang menyebutkan mengenai penimbunan emas dan perak, yaitu:

والذين يكنزون الذ هب والفضة ولاينفقو نها فى سبيل الله فبشر هم بعذاب ﺍﻟﻳﻢ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang sangat pedih” QS (9): 34.
C.       Hukum Monopoli (ihtikar)
Ulama Mazhab Hanafi tidak secara tegas menyatakan haram dalam menetapkan hukum ihtikar karena dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan, yaitu berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan jual beli sesuai kehendak mereka; dan adanya larangan berbuat mudharat kepada orang lain dalam bentuk apa pun. Menurut kalangan Mazhab Maliki, ihtikar hukumnya haram dan harus dicegah oleh pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu memberikan mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan negara. Karena itu, pemerintah harus turun tangan untuk mengatasinya. Ini sesuai dengan kaidah fiqh: haqq al-ghair muhaafazun ‘alaihi syar’an (hak orang lain terpelihara secara syara’). Dalam kasus ihtikar, yang paling utama dipelihara adalah hak konsumen, karena menyangkut orang banyak; sedangkan hak orang yang melakukan penimbunan hanya merupakan hak pribadi. Jika kepentingan pribadi bertentangan dengan kepentingan orang banyak, maka yang didahulukan adalah kepentingan orang banyak.
Ulama Mazhab Hanbali juga mengatakan ihtikar diharamkan syariat karena membawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara. Ibnu Qudamah mengemukakan alasan, ada sebuah hadits Rasulullah saw. yang melarang melakukan ihtikar dalam kebutuhan pokok manusia. (HR. Asram dari Abi Umamah).
Asy Syaukani mengatakan, “Kesimpulannya, ‘illat hukumnya apabila perbuatan menimbun barang itu untuk merugikan kaum muslimin. Tidak diharamkan jika tidak menimbulkan kemudharatan atas kaum muslimin. Tidak peduli barang tersebut pokok atau tidak, asal tidak menimbulkan kemudharatan kaum muslimin”.
At Tirmidzi berkata “Hukum inilah yang berlaku dikalangan ahli ilmu. Mereka melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan selain bahan makanan. Ibnul Mubarak berkata, “Tidak mengapa menimbun kapas, kulit kambing yang sudah disamak (sakhtiyan), dan sebagainya“.
       Diriwayatkan dari Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan Ats Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, “Dilarang menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan pasar”. Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada bahan makanan saja. Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini pendapat Abdullah bin Al Mubarak dan Imam Ahmad.
Imam Ahmad berkata, “Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku seperti di Bashrah dan Baghdad, karena kapal dapat berlabuh di sana“.
An Nawawi berkata, “Hadits diatas dengan jelas menunjukkan haramnya ihtikar. Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai harga melonjak naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya dalam madzhab kami“.
Kemudian para ulama berpendapat, “Adapun yang disebutkan dalam kitab dari Said bin Al Musayyin dan Ma’mar, yang meriwayatkan hadits, bahwa keduanya menimbun barang, maka Ibnu Abdil Barr dan ulama lainnya mengatakan, “Sesungguhnya barang ditimbun oleh keduanya adalah minyak. Keduanya membawakan larangan dalam hadits tersebut kepada penimbunan bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan dan pada saat harga mahal. Demikian juga Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan ulama lainnya. Dan pendapat itulah yang benar.”


DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abdul Aziz. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru
Iswardono, SP. 1990 Ekonomi Mikro. Yogyakarta: UPP AMP YKPN
Karim, Adiwarman . 2000. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: IIIT Indonesia
Poerwadarminta, W.J.S. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Sakirno, Sadono. 2001. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Jakarta: PT. Radja Grafindo




[1]  W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1994)hal. 307

[2] Abdul Aziz Dahlan , Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru, 1996). Hal. 655
[3]  Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2000)hal. 154
[4] Sadono Sakirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, (Jakarta: PT. Radja Grafindo, 2001) hal. 261

[5]  Iswardono, SP, Ekonomi Mikro, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 1990) hal. 104


No comments:

Post a Comment