TUGAS MID ETIKA BISNIS ISLAM
RESUME
HUKUM MONOPOLI DALAM ISLAM

Disusun oleh:
Normalisa
Sulisti
NIM:
211 313 7312
Kelas
Ekis VA
Dosen
Pembimbing
Desi
Isnaini, MA
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM JURUSAN EKONOMI ISLAM PRODI
EKONOMI SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2014
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Monopoli dan Al-Ihtikar
Istilah
monopoli dalam terminologi Islam tidak ditemukan secara konkrit namun dalam
muamalat terdapat satu ungkapan yang disinyalir hampir mirip dengan
monopoli yaitu al-Ihtikar. Al-Ihtikar merupakan bahasa Arab yang definisinya
secara etimologi ialah perbuatan menimbun, pengumpulan (barang-barang) atau
tempat untuk menimbun.[1]
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami obyek yang ditimbun yaitu: kelompok
pertama mendefinisikan al-Ihtikar sebagai penimbunan yang hanya terbatas pada
bahan makanan pokok (primer) dan kelompok yang kedua mendefinisikan al-Ihtikar
secara umum yaitu menimbun segala barang-barang keperluan manusia baik primer
mapun sekunder.
Kelompok
ulama yang mendefenisikan al-Ihtikar terbatas pada makanan pokok antara lain
adalah Imam al-Gazali dimana beliau berpendapat bahwa yang dimaksud al-Ihtikar
hanyalah terbatas pada bahan makanan pokok saja. Sedangkan selain bahan makanan
pokok (sekunder) seperti, obat-obatan, jamu-jamuan, wewangian, dan sebagainya
tidak terkena larangan meskipun termasuk barang yang dimakan. Alasan mereka
adalah karena yang dilarang dalam nash hanyalah makanan. Menurut mereka masalah
ihtikar adalah menyangkut kebebasan pemilik barang untuk menjual barangnya.
Maka larangan itu harus terbatas pada apa yang ditunjuk oleh nash. Sedangkan
kelompok ulama yang mendefinisikan al-Ihtikar lebih luas dan umum diantaranya
adalah imam Abu Yusuf. Beliau menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak hanya
terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang
dibutuhkan masyarakat. Menurut mereka, yang menjadi ‘ilat
(motivasi hukum) dalam larangan melakukan ihtikar tersebut adalah kemudaratan
yang menimpa orang banyak. Oleh karena itu kemudaratan yang menimpa orang
banyak tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup
seluruh produk yang dibutuhkan orang.[2]
Adiwarman
Karim mengatakan bahwa al-Ihtikar adalah mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang
lebih tinggi, atau istilah ekonominya disebut dengan monopoly’s rent.[3]
Monopoli juga
merupakan suatu bentuk pasar dimana hanya ada satu firma saja dan firma
tersebut menghasilkan barang yang tidak mempunyai barang pengganti yang sangat
dekat.[4]
Ada tiga macam bentuk monopoli yang terjadi dalam pasar, yaitu: Natural
Monopoly, yaitu monopoli yang terjadi secara alamiah atau karena mekanisme
pasar murni. Pelaku monopoli merupakan pihak yang secara alamiah menguasai
produksi dan distribusi produk tertentu. Monopoly by Struggle, yaitu monopoli
yang terjadi setelah adanya proses kompetisi yang cukup panjang dan ketat.
Persaingan berjalan fair, tidak terjadi proses-proses yang melanggar aturan
pasar terbuka. Berbagai pelaku bisnis yang terlibat dalam sektor tersebut telah
melakukan kompetisi yang yang panjang dan ketat melalui berbagai situasi dan
hambatan. Monopoly by decree, yaitu proses monopoli yang terjadi karena adanya
campur tangan pemerintah yang melakukan regulasi dengan memberikan hak istimewa
kepada pelaku ekonoi tertentu untuk menguasai pasar suatu produk tertentu.[5]
Sedangkan
diantara perbedaan monopoli dan ihtikar adalah:
1.
Bahwa monopoli terjadi jika seseorang memiliki modal
yang besar dan dapat memproduksi suatu barang tertentu di pasaran yang
dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan Ihtikar tidak hanya bisa dilakukan oleh
pemilik modal besar namun masyarakat menengah dengan modal alakadarnya pun bisa
melakukannya.
2.
Suatu perusahaan monopolis cenderung dalam melakukan
aktifitas ekonomi dan penetapan harga mengikuti ketentuan pemerintah (adanya
regulasi standard pemerintah), sedangkan ihtikar dimana dan kapan pun bisa
dilakukan oleh siapa saja, sebab penimbunan sangat mudah untuk dilakukan.
3.
Untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum, dalam
ihtikar kelangkaan barang dan kenaikan harga suatu barang terjadi dalam waktu
dan tempo yang tentitif dan mendadak dan dapat mengakibatkan inflasi. Sementara
dalam monopoli kenaikan harga biasanya cenderung dipengaruhi oleh mahalnya
biaya produksi dan operasional suatu perusahaan walaupun kadang-kadang juga
dipengaruhi oleh kelangkaan barang.
4.
Praktek monopoli adalah legal dan bahkan di negara
tertentu dilindugi oleh undang-undang atau aturan suatu negara, sedangkan
ihtikar merupakan aktifitas ekonomi yang ilegal.
B.
Dasar Hukum monopoli
Pasar
monopoli harus memiliki etika dalam berbisnis yang baik kepada pembeli untuk
menjual barang dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat yang berekonomi
rendah dan pengusaha pendatang baru diberikan kesempatan untuk masuk kedalam
pasar.
Dalam al-Qur’an secara langsung tidak ada disebutkan mengenai
al-Ihtikar (Monopolistic rent). Tetapi ada ayat yang menyebutkan mengenai
penimbunan emas dan perak, yaitu:
والذين يكنزون الذ هب والفضة ولاينفقو نها فى سبيل الله فبشر هم بعذاب ﺍﻟﻳﻢ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang sangat pedih” QS (9): 34.
C.
Hukum Monopoli (ihtikar)
Ulama Mazhab
Hanafi tidak secara tegas menyatakan haram dalam menetapkan hukum ihtikar
karena dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan, yaitu
berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan jual beli
sesuai kehendak mereka; dan adanya larangan berbuat mudharat kepada orang lain
dalam bentuk apa pun. Menurut kalangan Mazhab Maliki, ihtikar hukumnya haram
dan harus dicegah oleh pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu
memberikan mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat, stabilitas
ekonomi masyarakat dan negara. Karena itu, pemerintah harus turun tangan untuk
mengatasinya. Ini sesuai dengan kaidah fiqh: haqq al-ghair muhaafazun ‘alaihi
syar’an (hak orang lain terpelihara secara syara’). Dalam kasus ihtikar, yang
paling utama dipelihara adalah hak konsumen, karena menyangkut orang banyak;
sedangkan hak orang yang melakukan penimbunan hanya merupakan hak pribadi. Jika
kepentingan pribadi bertentangan dengan kepentingan orang banyak, maka yang
didahulukan adalah kepentingan orang banyak.
Ulama Mazhab
Hanbali juga mengatakan ihtikar diharamkan syariat karena membawa mudharat yang
besar terhadap masyarakat dan negara. Ibnu Qudamah mengemukakan alasan, ada
sebuah hadits Rasulullah saw. yang melarang melakukan ihtikar dalam kebutuhan
pokok manusia. (HR. Asram dari Abi Umamah).
Asy Syaukani
mengatakan, “Kesimpulannya, ‘illat hukumnya apabila perbuatan menimbun barang
itu untuk merugikan kaum muslimin. Tidak diharamkan jika tidak menimbulkan
kemudharatan atas kaum muslimin. Tidak peduli barang tersebut pokok atau tidak,
asal tidak menimbulkan kemudharatan kaum muslimin”.
At Tirmidzi berkata “Hukum inilah
yang berlaku dikalangan ahli ilmu. Mereka melarang penimbunan bahan makanan.
Sebagian ulama membolehkan penimbunan selain bahan makanan. Ibnul Mubarak
berkata, “Tidak mengapa menimbun kapas, kulit kambing yang sudah disamak
(sakhtiyan), dan sebagainya“.
Diriwayatkan
dari Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan Ats Tsauri
juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, “Dilarang
menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan
pasar”. Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada
bahan makanan saja. Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini pendapat
Abdullah bin Al Mubarak dan Imam Ahmad.
Imam Ahmad
berkata, “Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu
seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak
berlaku seperti di Bashrah dan Baghdad, karena kapal dapat berlabuh di sana“.
An Nawawi berkata, “Hadits diatas
dengan jelas menunjukkan haramnya ihtikar. Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa
ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu
membelinya pada saat harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat
itu juga, tapi ia simpan sampai harga melonjak naik. Tetapi jika dia
mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu
ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat itu juga,
maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak
diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya dalam
madzhab kami“.
Kemudian para ulama berpendapat,
“Adapun yang disebutkan dalam kitab dari Said bin Al Musayyin dan Ma’mar, yang
meriwayatkan hadits, bahwa keduanya menimbun barang, maka Ibnu Abdil Barr dan
ulama lainnya mengatakan, “Sesungguhnya barang ditimbun oleh keduanya adalah
minyak. Keduanya membawakan larangan dalam hadits tersebut kepada penimbunan
bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan dan pada saat harga mahal. Demikian
juga Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan ulama lainnya. Dan pendapat itulah yang
benar.”
DAFTAR
PUSTAKA
Dahlan, Abdul Aziz. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT.
Ikhtiar Baru
Iswardono, SP. 1990 Ekonomi Mikro. Yogyakarta: UPP AMP YKPN
Karim, Adiwarman . 2000. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: IIIT
Indonesia
Poerwadarminta,
W.J.S. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Sakirno, Sadono.
2001. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Jakarta: PT. Radja Grafindo
[1] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,
1994)hal. 307
[2]
Abdul Aziz Dahlan , Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta:
PT. Ikhtiar Baru, 1996). Hal. 655
[3] Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2000)hal. 154
[4]
Sadono Sakirno, Pengantar Teori
Mikro Ekonomi, (Jakarta: PT. Radja Grafindo, 2001) hal. 261
[5] Iswardono, SP, Ekonomi Mikro, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 1990) hal. 104
No comments:
Post a Comment